Ibukota mengenal budaya kembang api, petasan, dan konvoi bedug setiap kali Malam Takbiran dan Lebaran. Banyak orang yang senang terlibat dalam perayaan tersebut. Sebagian lagi mungkin jengah karena bebunyian tersebut mengganggu telinga dan ketenangan. Bagaimana jadinya jika mereka yang kontra mendadak harus lebaran di Pontianak? Di sana, kita tidak cuma menemukan petasan setiap kali menjelang Lebaran, tapi ratusan meriam. Nah!
Pontianak merupakan ibukota Kalimantan Barat. Dalam bahasa Melayu, pontianak artinya “kuntilanak”. Oleh karena banyaknya etnis Tionghoa di kota tersebut, Pontianak juga dikenal dengan nama Khun Tien. Selain dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol derajat dan kota yang dilalui Sungai Kapuas—sungai terpanjang di Indonesia—, Pontianak juga dikenal karena tradisi uniknya menjelang/saat Lebaran.
Penduduk Pontianak, mendekati Hari Raya Idul Fitri, akan menyediakan ratusan meriam yang dijajarkan di kedua belah tepi Sungai Kapuas. Meriam yang digunakan oleh warga Pontianak adalah Meriam Karbit, sebab bahan peledaknya adalah karbit atau senyawa kimia CaC2. Untuk ukurannya, diameter meriam ini biasanya 50-100 cm dengan panjang 4-7 m. Ckck...
Perang Meriam Karbit ini biasanya sudah dimulai sejak Malam Lebaran hingga hari ketiga Lebaran. Tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri, pendiri Pontianak sekaligus sultan pertama di Kesultanan Pontianak, tepatnya 1771 M. Konon, awalnya, meriam-meriam ini ditembakkan untuk mengusir kuntilanak yang bergentayangan.
Alkisah, ketika Sultan Syarif Abdurrahman bersama rombongan sampai di Batulayang, utara Pontianak, dengan menggunakan kapal, mereka diganggu kuntilanak. Sultan kemudian memerintahkan untuk menembak meriam. Selain untuk mengusir kuntilanak, juga sebagai penanda bahwa di mana peluru meriam jatuh, di situlah akan dibangun kesultanan baru. Jatuhlah peluru tersebut di simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang sekarang dikenal dengan kawasan Kampung Beting.
Menembakkan meriam kemudian tidak berhenti dilakukan, malah menjadi budaya yang pasti dilakukan setiap kali Idul Fitri dan Idul Adha. Di sepanjang tepian Sungai Kapuas, tidak hanya ada satu kelompok meriam, tapi bisa mencapai puluhan kelompok yang berhadap-hadapan seolah berperang. Biasanya, satu kelompok memiliki 2-8 meriam karbit.
Setiap kali 'perang' dimulai, ratusan meriam di Sungai Kapuas itu akan memercik api dan mengeluarkan bunyi dentuman yang sangat keras. Bahkan, suaranya bisa terdengar sampai radius 10 km. Mau pengalaman yang berbeda? Coba Lebaran di Pontianak.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung di blog ini dan atas komentar anda...