WAHABI BUKANLAH ALIRAN SESAT
أسسلم عليكم ورهمتلهي وبركاته
Wahabi bukanlah aliran sesat, bahkan musuh wahabi itulah yang sesat.
Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu   wa ta’ala,   yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita,   sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul   dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk   aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam  buat  Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa  sallam, yang  telah  bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk  demi  tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk  para  keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia  berpegang  teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.
Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi
Para  hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas  tentang  keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu  sebab  munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang   melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek   politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.
Dari  segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang   terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu   terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak   negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para  penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi  mereka  sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan  menggoyang  kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat  dan agama  yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan  kehilangan objek  jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama  dengan benar,  dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang  mencoba  memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang  benar.
Baca Selengkapnya 
Klik disini
   Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda
SEMENANJUNG Arab adalah bentang daratan beralam kejam di siang hari.  Tandus dan kering. Namun di malam hari. Arab adalah "surga" bagi para  astronom. Langit Arab di malam hari, selalu indah.
Seperti China, sebagai bangsa dan peradaban tua, sastrawan Arab  banyak menyanjung langit di malam hari. Malam adalah inspirasi  keindahan, sedangkan siang diibaratkan "kekerasan."
Tak mengherankan jika khasanah intelektual dunia soal astronomi  banyak lahir di tanah Arab. Gugusan bintang-bintang banyak lahir dari  istilah Arab awal. Rasi bintang Orion awalnya dikenal dengan Al-Jabbar,  Taurus (Ath-Thawr), Canis Major (Al-Kalb Al-Akbar), Canis Minor (Al-Kalb  Al-Asghar), Leo (Al-Asad), Gemini (At-Tawa'man), Scorpius (Al-'Aqrab),  dan beberapa lainnya.
Inilah yang menjelaskan, kenapa di banyak negara-negara Islam di  Semenanjung Arab, seperti Mesir, Syira, atau Yaman dalam memutuskan 1  Ramadan, selalu merujuk ke Arab. Ke Tanah Haram, Mekkah.
Bahkan Malaysia dan Jepang, yang jauh di tenggara Asia, pun  senantiasa berkiblat pada penentuan 1 Ramadan atau Syawal di Mekkah.  Langit Mekkah dan Jeddah, selalu lebih terang. Rasi bintang di malam  hari selalu terlihat lebih jelas.
Dan, memang perbedaan 1 Syawal dan 1 Ramadan hanya soal cara sistem  penghitungan belaka, dan kondisi langit atau ufuk saat rukyah hilal.
Ingatkah kita, di Indonesia, hampir 3 dekade di masa pemerintah  Soeharto begitu kuat perbedaan "cara" itu nyaris tak pernah ada. Itu  karena pemerintah kuat, dan masih punya otoritas dan kepercayaan.
Sementara Indonesia umumnya menentukan sendiri, melalui pertemuan antara pemeritah dan ormas-ormas Islam.
Dalam perhitungan 1 Ramadan dan 1 Syawal, ada yang memakai Hisab  dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru'yah  atau melihat bulan/hilal.
Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan  dengan memakai ilmu kalendering. Inilah yang selama ini jadi rujukan  ormas Muhammadiyah.
Dengan rujukan ini, 1 Ramadan 1455, atau di 22 tahun akan datang  (tahun 2034) mendatang, sudah bisa diketahui, atau disesuaikan dengan  kalender masehi.
Yang kedua, dengan rukyah, jika bulan terlihat, itulah saat mulai  berpuasa atau berbuka puasa (Idulfitri). Inilah yang dipakai oleh  pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenag dan Ormas Nahdlatul Ulama  (NU).
Baca Selengkapnya 
Klik disini